Jumat, 02 Desember 2011

No.12 Tahun 1964 Tentang Pemutusan Hubungan Kerja

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 12 TAHUN 1964
TENTANG
PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA DI PERUSAHAAN SWASTA


PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : bahwa untuk lebih menjamin ketenteraman serta kepastian bekerja bagi kaum buruh yang di samping tani harus menjadi kekuatan pokok dalam revolusi dan harus menjadisoko-guru masyarakat adil dan makmur, seperti tersebut dalam Manifesto Politik,beserta perinciannya, perlu segera dikeluarkan Undang-undang tentang PemutusanHubungan Kerja di Perusahaan Swasta;

Mengingat: 1. Pasal 5 ayat 1 serta pasal 27 ayat 2 Undang-undang Dasar;

2. Undang-undang No. 10 Prp tahun 1960 jo Keputusan Presiden No. 239 tahun 1964;

Dengan persetujuan
Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong;

MEMUTUSKAN :

I. Mencabut: "Regeling Ontslagrechtvoor bepaalde niet Europe se Arbeiders" (Staatsblad 1941 No. 396) dan peraturan-peraturan lain mengenai pemutusan hubungan kerja seperti tersebutdidalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata pasal 1601 sampai dengan 1603 Oud danpasal 1601 sampai dengan 1603, yang berlawanan dengan ketentuan-ketentuantersebut didalam Undang-undang ini.

II. Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANGPEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA DI PERUSAHAAN SWASTA.

Pasal 1

(1) Pengusaha harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusanhubungan kerja.

(2) Pemutusan hubungan kerja dilarang:

a. selama buruh berhalanganmenjalankan pekerjaannya karena keadaan sakit menurut keterangan dokter selamawaktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan terus-menerus;

b. selama buruh berhalanganmenjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban terhadap Negara yangditetapkan oleh Undang-undang atau Pemerintah atau karena menjalankan ibadatyang diperintahkan agamanya dan yang disetujui Pemerintah.

Pasal 2

Bilasetelah diadakan segala usaha pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindarkan,pengusaha harus merundingkan maksudnya untuk memutuskan hubungan kerja denganorganisasdi buruh yang bersangkutan atau dengan buruh sendiri dalam hal buruhitu tidak menjadi anggota dari salah-satu organisasi buruh.

Pasal 3

(1) Bila perundingan tersebut dalam pasal 2nyata-nyata tidak menghasilkan persesuaian paham, pengusaha hanya dapatmemutuskan hubungan kerja dengan buruh, setelah memperoleh izin PanitiaPenyelsaian Perselisihan Perburuhan Daerah (Panitia Daerah), termaksud padapasal 5 Undang-undang No. 22 tahun 1957 tentang Penyelesaian PerselisihanPerburuhan (Lembaran-Negara tahun 1957 No. 42) bagi pemutusan hubungan kerjaperseorangan, dan dari Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat(Panitia Pusat) termaksud pada pasal 12 Undang-undang tersebut di atas bagipemutusan hubungan kerja secara besar-besaran.

(2) Pemutusan hubungan kerja secarabesar-besaran dianggap terjadi jika dalam satu perusahaan dalam satu bulan,pengusaha memutuskan hubungan kerja dengan 10 orang buruh atau lebih, ataumengadakan rentetan pemutusan-pemutusan hubungan kerja yang dapat menggambarkansuatu itikad untuk mengadakan pemutusan hubungan kerja secara besar-besaran.

Pasal 4

Izintermaksud pada pasal 3 tidak diperlukan, bila pemutusan hubungan kerjadilakukan terhadap buruh dalam masa percobaan.

Lamanyamasa percobaan tidak boleh melebihi tiga bulan dan adanya masa percobaan harusdiberitahukan lebih dahulu pada calon buruh yang bersangkutan.

Pasal 5

(1) Permohonan izin pemutusan hubungan kerjabeserta alasan alasan yang menjadi dasarnya harus diajukan secara tertuliskepada Panitia Derah, yang wilayah kekuasaannya meliputi tempat kedudukanpengusaha bagi pemutusan hubungan kerja perseorangan dan kepada Panitia Pusatbagi pemutusan hubungan kerja secara besar-besaran.

(2) Permohonan izin hanya diterima olehPanitia Daerah/ Panitia Pusat bila ternyata bahwa maksud untuk memutuskanhubungan kerja telah dirundingkan seperti termaksud dalam pasal 2, tetapiperundingan ini tidak menghasilkan persesuaian paham.

Pasal 6

PanitiaDarah dan Panitia Pusat menyelesaikan permohonan izin pemutusan hubungan kerjadalam waktu sesingkat-singkatnya, menurut tata-cara yang berlaku untuk penyelesaianperselisihan perburuhan.

Pasal 7

(1) Dalam mengambil keputusan terhadappermohonan izin pemutusan hubungan kerja, Panitia Daerah dan Panitia Pusatdisamping ketentuan-ketentuan tentang hal ini yang dimuat dalam Undang-undangNo. 22 tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan (Lembaran-Negaratahun 1957 No. 42), memperhatikan keadaan dan perkembangan lapangan kerja sertakepentingan buruh dan perusahaan.

(2) Dalam hal Panitia Daerah atau PanitiaPusat memberikan izin maka dapat ditetapkan pula kewajiban pengusaha untukmemberikan kepada buruh yang bersangkutan uang pesangon, uang jasa dan gantikerugian lain-lainnya.

(3) Penetapan besarnya uang pesangon, uangjasa dan ganti kerugian lainnya diatur di dalam Peraturan Menteri Perburuhan.

(4) Dalam Peraturan Menteri Perburuhan itudiatur pula pengertian tentang upah untuk keperluan pemberian uang pesangon,uangjasa dan ganti kerugian tersebut di atas.

Pasal 8

Terhadappenolakan pemberian izin oleh Panitia Daerah, atau pemberian izin dengansyarat, tersebut pada pasal 7 ayat (2), dalam waktu empat belas hari setelahputusan diterima oleh pihak-pihak yang bersangkutan, baik buruh dan/ataupengusaha maupun organisasi buruh/atau organisasi pengusaha yang bersangkutandapat minta banding kepada Panitia Pusat.

Pasal 9

Panitia Pusat menyelesaikanpermohonan banding menurut tata-cara yang berlaku untuk penyelesaianperselisihan perburuhan dalam tingkat bandingan.

Pasal 10

Pemutusan hubungan kerja tanpaizin seperti tersebut pada pasal 3 adalah batal karena hukum.

Pasal 11

Selama izintermaksud pada pasal 3 belum diberikan, dan dalam hal ada permintaan bandingtersebut pada pasal 8, Panitia Pusat belum memberikan keputusan, baik pengusahamaupun buruh harus tetap memenuhi segala kewajibannya.

Pasal 12

Undang-undangini berlaku bagi pemutusan hubungan kerja yang terjadi diperusahaan-perusahaanSwasta, terhadap seluruh buruh dengan tidak menghiraukan status kerja mereka,asal mempunyai masa kerja lebih dari 3 (tiga) bulan berturut-turut.

Pasal 13

Ketentuan-ketentuanpelaksanaan yang belum diatur di dalam Undang-undang ini ditetapkan olehMenteri Perburuhan.

Pasal 14

Undang-undang ini mulai berlakupada hari diundangkannya.

Agar supaya setiap orang dapatmengetahuinya memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannyadalam Lembaran-Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal 23September 1964.

PD. PRESIDEN REPUBLIKINDONESIA,

Dr. SUBANDRIO.

Diundangkan diJakarta
pada tanggal 23September 1964.

SEKRETARIS NEGARA,

MOHD. ICHSAN.

LEMBARAN NEGARA TAHUN 1964 NOMOR 93


PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG No.12 TAHUN 1964

tentang

PEMUTUSAN HUBUNGANKERJA DI PERUSAHAAN SWASTA.

UMUM.

Bagikaum buruh putusnya hubungan kerja berarti permulaan masa pengangguran dengansegala akibatnya, sehingga untuk menjamin kepastian dan ketenteraman hidup kaumburuh seharusnya tidak ada pemutusan hubungan kerja.

Tetapipengalaman sehari-hari membuktikan bahwa pemutusan hubungan kerja tidak dapatdicegah seluruhnya.

Berbagaijalan dapat ditempuh untuk memecahkan persoalannya. Setelah ditinjaumasak-masak berdasarkan pengalaman-pengalaman yang lampau, maka pada hematPemerintah, sistim yang dianut dalam Undang-undang ini adalah yang paling tepatbagi negara kita dalam taraf pertumbuhan sekarang.

Pokok-pokokpikiran yang diwujudkan dalam Undang-undang ini dalam garis besarnya adalahsebagai berikut:

1. Pokok pangkal yang harus dipegang teguhdalam menghadapi masalah pemutusan hubungan kerja ialah bahwa sedapat mungkinpemutusan hubungan kerja harus dicegah dengan segala daya upaya, bahkan dalambeberapa hal dilarang.

2. Karena pemecahan yang dihasilkan olehperundingan antara pihak-pihak yang berselisih sering kali lebih dapat diterimaoleh yang bersangkutan dari pada penyelesaian dipaksakan oleh Pemerintah, makadalam sistim Undang-undang ini, penempuhan jalan perundingan ini merupakankewajiban, setelah daya upaya tersebut pada 1 tidak memberikan hasil.

3. Bila jalan perundingan tidak berhasilmendekatkan kedua pihak, barulah Pemerintah tampil kemuka dan campur-tangandalam pemutusan hubungan kerja yang hendak dilakukan oleh Pengusaha. Bentukcampur-tangan ini adalah pengawasan prepentip, yaitu untuk tiap-tiap pemutusanhubungan Kerja oleh pengusaha diperlukan izin dari Instansi Pemerintah.

4. Berdasarkan pengalaman dalam menghadapimasalah pemutusan hubungan kerja, maka sudah setepatnyalah bila pengawasanprepentip ini diserahkan kepada Panitya Penyelesaian Perselisihan PerburuhanDaerah dan Panitya Penyelesaian Perburuhan Pusat.

5. Dalam Undang-undang ini diadakanketentuan-ketentuan yang bersifat formil tentang cara memohon izin, memintabanding terhadap penolakan permohonan izin dan seterusnya.

6. Disamping itu perlu dijelaskan bahwabilamana terjadi pemutusan hubungan kerja secara besar-besaran sebagai akibatdari tindakan Pemerintah, maka Pemerintah akan berusaha untuk meringankan bebankaum buruh itu dan akan diusahakan penyaluran mereka pada perusahaan/proyekyang lain.

  1. Demikian juga pemutusan hubungan kerja karena akibat modernisasi, otomatisasi, effisiency dan rationalisasi yang disetujui oleh Pemerintah mendapat perhatian Pemerintah sepenuhnya dengan jalan mengusahakan secara aktif penyaluran buruh-buruh itu keperusahaan/proyek lain.

PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Cukup jelas.

Pasal 2

Cukup jelas.

Pasal 3

Sekiranya disini dikemukakan, bahwa jumlah sepuluh termaksud pada pasal 3 ayat (2) hanyamerupakan ancar-ancar; ukuran yang penting yalah maksud/hasrat pengusaha untuk memutuskan hubungan kerja secara besar-besaran.

Pasal 4

Dalam masa percobaan menurut hukum yang berlaku kedua pihak berwenang untukmemutuskan hubungan kerja seketika. Asas tersebut telah dipertahankan dalam Undang-undang ini.

Pasal 5

Mengatur tata cara permohonan izin dan lain-lain hal yang bersifat formil, sehingga tidak perlu dijelaskan lebih lanjut.

Pasal 6

Mengatur tata cara permohonan izin dan lain-lain hal yang bersifat formil, sehinggatidak perlu dijelaskan lebih lanjut.

Pasal 7

Mengatur tata cara permohonan izin dan lain-lain hal yang bersifat formil, sehingga tidak perlu dijelaskan lebih lanjut.

Pasal 8

Mengatur tata cara permohonan izin dan lain-lain hal yang bersifat formil, sehingga tidak perlu dijelaskan lebih lanjut.

Pasal 9

Mengatur tata cara permohonan izin dan lain-lain hal yang bersifat formil, sehinggatidak perlu dijelaskan lebih lanjut.

Pasal 10

Cukup jelas.

Pasal 11

Cukup jelas.

Pasal 12

Berdasarkanpasal 12 ini semua buruh (termasuk buruh contractor) dengan tidak menghiraukan apakah mereka buruh harian, bulanan) atau borongan (op stuikloon) dilindungi oleh Undang-undang ini.
Yang dimaksudkan dengan perusahaan, yalah perusahaan yang tidak berstatus perusahaannegara atau perusahaan daerah dan yang merupakan organisasi dari alat-alatproduksi untuk menghasilkan barang-barang atau jasa guna memuaskan kebutuhanmasyarakat.
Adapun mengenai pemutusan hubungan kerja diperusahaan- perusahaan negara dan daerah,Pemerintah bermaksud mengadakan peraturan tersendiri.

Pasal 13

Cukup jelas.

Pasal 14

Cukup jelas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar